Saat itu hari selasa, 4 Mei 21.
Malam rabu, malam ke-23 ramadhan.
Pasca maghrib, gerimis turun tanpa diundang.
Allahumma shayyiban nafi'an...
(Ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat).
Lalu mulai berbagi cerita tentang pelaksanaan sholat tarawih malam ke-23.
"Buk, gerimis... !" Ungkapku saat itu.
"Waduh, gimana yang mau sholat tarawih ini, apa sholat di kos aja ya. Tapi siapa yang ngimamin?" Saran sekaligus tanya seorang ibu salah satu tetanggaku.
"Bapak aja bu. Saya mau jadi imam tapi cowok-cowoknya usir dulu ke masjid hahaha." Candaku padanya.
"Gampang, pakek payung aja wes." Sarannya.
Lalu teringat, bahwa semakin besar ujian. Maka juga semakin besar pahalanya. Saat itu aku mengajak salah satu temanku untuk pergi ke masjid. Iya, saat itu tidak pergi dengan ibu yang merupakan tetanggaku karena kita melaksanakan tarawih di tempat yang berbeda. Aku dan temanku berjalan kaki ke masjid dan tidak membawa payung. Hanya gerimis, awalnya. Lalu semakin kami jauh berjalan, hujan turun semakin deras. Tak ada payung, kami hanya menggunakan sajadah sebagai penutup kepala. Berlari kesana kemari, tapi dengan rasa bahagia dan tertawa karena kami, lebih tepatnya aku sangat menyukai hujan.
Saat itu aku teringat kisah tentang Hamid dan Zainab sewaktu mereka berdua tertawa bermain menikmati hujan. Hanya tertawa, tanpa berkata, tapi serasa ada yang berbicara. Dipahami tanpa suara. Ingin rasanya seperti itu, dengan rasa yang sama namun orang yang berbeda.
Comments
Post a Comment